Bedah_Hukum
this site the web

Ubi Societas Ibi Justicia

image
image
image


Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

Perbedaan Surat dan Akta dalam Proses Pembuktian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR alat bukti terdiri dari :
a. alat bukti tulisan ;
b. bukti dengan saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan; dan
e. sumpah.

Sesuai dengan urutannya. Alat bukti tulisan memegang peran yang sangat penting. Semua kegiatan keperdataan, sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Adapun surat dari pengertian secara umum sebagai alat bukti tulisan dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk yaitu Akta dan Surat (bukan akta). Sedangkan akta sendiri dapat dibedakan kembali dengan Akta Otentik dan Akta di bawah tangan.

Surat untuk dapat dikatakan sebagai akta wajib ditanda tangani, dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880. Sebagaimana ketentuan Pasal 18 memberikan definisi dari akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta itu dibuatnya. Ini merupakan unsur pembeda dengan akta di bawah tangan.

Adapun perbedaan dari akta otentik dan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil). Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Sebaliknya untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, cukup antara para pihak yang berkepentingan saja. Contoh akta di bawah tangan adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dan lain sebagainya.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 BW, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

baca selanjutnya ..

Harta Gono-gini Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Sebelum membahas mengenai harta gono-gini berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya KHI) ada baik kita mengenal lebih dekat tentang KHI. KHI adalah kumpulan hukum materiil yang dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen yustisia atau buku sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya (penjelasan KHI). KHI berlaku dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Dimana Instruksi Presiden ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989.

Berdasarkan KHI, harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 pada Buku I (satu). Menurut pengertiannya harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun (Pasal 1 huruf f Bab Ketentuan Umum).

Persoalan harta perkawinan seringkali rumit dan berlarut-larut. Inilah salah satu pertimbangan KHI memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan sehingga nantinya menimbulkan pemisahan hak kepemilikan yang jelas atas harta-harta yang diperoleh maupun yang dibawa sebelum melakukan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mengingat pentingnya eksistensi dan pengaturan perjanjian perkawinan, KHI mengaturnya dalam Bab tersendiri dan menguraikannya dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan), KHI juga memberikan batasan bahwa tidak ada proses percampuran harta dalam sebuah perkawinan. Ini berarti bahwa harta kekayaan yang dibawa sebelum perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak yang membawanya. Perkawinan tidak merubah status kepemilikan hak atas harta kekayaan tersebut menjadi hak milik bersama. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Adapun harta tersebut dapat berupa hadiah, hibah, sodaqah atau lainnya yang merupakan pemberian khusus untuk salah satu pihak dalam ikatan perkawinan.

Harta bersama perkawinan menurut KHI (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (3)) dapat berupa :
1. Benda berwujud termasuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak serta surat-surat berharga;
2. Benda tidak berwujud termasuk hak dan kewajiban.

Pertanggungjawaban atas harta bersama dalam perkawinan adalah ada pada kedua belah pihak. Baik suami dan isteri memiliki tanggung jawab memelihara dan menjaganya. Demikian pula apabila harta bersama tersebut dalam penguasaan salah satu pihak, maka pertanggungjawaban atas harta bersama tersebut melekat pada pihak yang bersangkutan. Tidak dapat seorang suami maupun isteri mengalihkan penguasaan maupun hak kepemilikannya ke pihak lain, terkecuali dengan persetujuan bersama (isteri/suami).

Dalam hal terjadinya hutang, KHI menjelaskan pada dasarnya pertanggungjawaban ada pada masing-masing pihak yang melakukan hutang. Namun apabila hutang tersebut digunakan untuk kepentingan dan keperluan keluarga maka pertanggungjawaban dibebankan pada harta bersama. Sedangkan apabila harta bersama tidak mencukupi untuk melunasi hutang tersebut, maka suami ikut menanggungnya dengan menggunakan harta pribadinya. Harta isteripun akan disertakan dalam pertanggungjawaban hutang tersebut apabila ternyata harta suami tidak ada atau juga tidak mencukupi sebagai pelunasan.

Untuk perkawinan suami yang dilakukan lebih dari satu kali atau suami beristri lebih dari satu, masing-masing harta bersama dari setiap perkawinan tersebut adalah terpisah dan berdiri sendiri. Ini berarti harta bersama baik sebagian maupun secara keseluruhannya pada perkawinan pertama, tidak dapat sekaligus menjadi harta bersama di perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan keberlakuan harta bersama disetiap perkawinan ialah dihitung sejak saat berlangsungnya akad perkawinan, baik itu pada perkawinan kedua, perkawinan ketiga dan seterusnya.

Mengenai besaran harta gono-gini dari harta bersama perkawinan yang bercerai karena kematian, Pasal 96 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Pada dasarnya hal ini sama dengan besaran untuk janda atau duda cerai biasa yang diatur dalam Pasal 97 yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Demikian tulisan terkait harta bersama atau syirkah berdasarkan KHI, yang pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan UU Perkawinan. Semoga bermanfaat.

baca selanjutnya ..

Harta Gono-Gini Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ini diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan). Namun dalam kenyataannya, terkadang keluarga atau rumah tangga yang dibentuk oleh ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan dengan berbagai sebab dan alasan.

Sebab dan alasan keretakan keluarga/rumah tangga sangat beragam dan muncul terkadang tidak diperkirakan sejak awal. Pada awalnya masing-masing pihak beranggapan bahwa calon pasangan mereka adalah orang yang tepat mendampingi perjalanan hidupnya. Namun perkembangan tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Problematika yang biasa terjadi dalam biduk rumah tangga menjadi hal yang luar biasa ketika tidak ditemukan penyelesaiannya. Hingga klimaknya berujung pada perceraian atau perpisahan.

Perceraian sebagaimana dalam UU Perkawinan dimasukkan sebagai salah satu alasan putusnya perkawinan selain karena kematian dan keputusan pengadilan. Secara materiil perceraian didasari oleh kaedah agama/ kepercayaan dari pasangan bersangkutan dan secara formil putusan pengadilan memberikan keabsahan atas perceraian yang terjadi menurut hukum negara yang berlaku.

Salah satu implikasi dari perceraian adalah pembagian harta bersama menjadi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak atau biasa disebut “harta gono-gini” pasca perceraian. Pembagian harta gono-gini seringkali menjadi persoalan pelik yang tidak tuntas oleh para pihak melalui kesepakatan semata. Bahkan berdasarkan kenyataan yang sering terjadi, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit disamping masalah hak asuh atas anak.

Istilah “harta gono-gini” pada dasarnya tidak dikenal dalam UU Perkawinan kita. Dalam UU Perkawinan setidaknya dikenal 3 (tiga) jenis harta yaitu harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan. Adapun pengertian masing-masing harta tersebut adalah sebagai berikut:
* Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta ini merupakan harta yang dikuasai bersama selama perkawinan.
* Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak sebelum proses perkawinan dilakukan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
* Harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sedikit berbeda dengan penjenisan menurut UU Perkawinan, menurut Hukum Islam harta yang terkait dengan perkawinan terdapat 3 (tiga) jenis yaitu :
* Harta Milik Suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
* Harta Milik Isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atauharta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.
* Harta Milik Bersama Suami Isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda (misalnya mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua (patungan), dan sebagainya.
(sumber: Muhammad Shiddiq Al-Jawi (http://www.khilafah1924.org))

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia harta gono-gini selain diatur dalam UU Perkawinan juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono-gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Dalam perspektif hukum Islam, harta gono-gini bisa ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad yang biasanya disebut dengan konsep syirkah (kerja sama).

Berdasarkan kajian dari berbagai sumber hukum diatas, harta gono-gini dimaksudkan sebagai harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga legalitasnya diakui oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak termasuk dalam kategori harta gono-gini adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan sebelum masa perkawinan, biasa disebut dengan harta bawaan (seperti halnya harta warisan) atau harta milik pribadi yang diperoleh setelah masa perkawinan (harta perolehan, harta hibah, hadiah, dan sedekah).

UU Perkawinan telah jelas memisahkan penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 36 disebutkan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Namun dalam hal yang sama UU Perkawinan kembali menyerahkan pengaturan atas harta benda setelah putusnya perkawinan menurut hukumnya masing-masing. Artinya menurut hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perkawinan. Apakah Hukum Perdata, Hukum Islam atau Hukum Agama lain yang diakui oleh Undang-Undang. Sehingga mekanisme dan penentuan besaran harta gono-gini tersebut dilakukan berdasarkan kaedah hukum apa yang dianut oleh pihak-pihak dalam perkawinan tersebut.

Perlu dicatat bahwa harta bersama atau kita istilahkan dengan harta gono-gini menurut UU Perkawinan dibatasi terhadap perkawinan yang dilakukan lebih dari satu kali. Ini berarti harta bersama dalam perkawinan pertama tidak dapat disebut sebagai harta bersama pada perkawinan kedua dan seterusnya. Implikasinya adalah istri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Dengan kata lain, harta yang menjadi hak suami sebelum perkawinan kedua dan seterusnya tetap dianggap sebagai harta bawaan, bukan harta bersama (lihat Pasal 65 ayat (1) huruf b).

Mengingat begitu menariknya pembahasan tentang harta gono-gini untuk menambah khasanah keilmuan kita terlebih relevansinya dengan banyak realitas yang ada, maka dalam kesempatan berikutnya akan dituliskan kajian tentang pengaturan dan besaran pembagian harta gono-gini berdasarkan ketentuan Hukum Islam.

baca selanjutnya ..

Memahami Aliran Fundamentalisme dan Neoliberalisme

Terdapat berbagai aliran/ pandangan sosial, politik dan ekonomi dalam tatanan dinamika masyarakat saat ini. Sepertihalnya komunisme, sosialisme, liberalisme dan fundamentalisme hingga neoliberalisme yang telah banyak bermunculan dan berhasil mendiversifikasi masyarakat lokal dan internasional. Mengkaji tentang fundamentalisme dan neoliberalisme. Keduanya bisa bertentangan dan pun bisa saling bertemanan. Dua istilah tersebut berasal dari kata fundamental dan neoliberal yang diberikan imbuhan – isme. Isme sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) diartikan sebagai sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi.

Menurut pengertian KBBI fundamentalisme diartikan sebagai paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Secara umum, fundamentalisme berarti gerakan sosial politik yang ingin mengembalikan suatu kondisi kepada nilai-nilai yang asasi, yang fundamental. Kendati istilah itu bisa dikenakan kepada gerakan apa saja, ia lebih sering disematkan kepada gerakan keagamaan. Dari sini kita mengenal istilah “fundamentalisme Kristen”, “fundamentalisme Hindu” dan “ fundamentalisme Islam”.

Sementara itu, neoliberalisme sebagai aliran politik ekonomi yang muncul setelah perang dunia I, ditandai dengan tekanan berat pada positif ekonomi pasar bebas, disertai dengan usaha menekan campur tangan pemerintah dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian. Pengertian dari Neoliberalisme sendiri adalah sebuah fenomena sosial politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung serta ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik. Neoliberalisme adalah kata lain dari liberalisme baru. “Neoliberalisme” kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi.

Tidak terdapat informasi yang jelas mulai kapan dua istilah ini dipersandingkan. Namun, saat ini banyak pembicaraan mengarah kepada satu penilaian, yakni bahwa fundamentalisme dan neoliberalisme merupakan ancaman bagi kehidupan manusia. Secara simplistik, ancaman itu diteriakkan dengan menciptakan slogan seperti “fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar”.

Sebenarnya, meletakkan fundamentalisme dan neoliberalisme dalam satu keranjang tidaklah terlalu tepat. Seperti dikatakan di atas, dua istilah itu bisa saling bertentangan dan bisa juga saling bertemanan. Di Amerika, fundamentalisme Kristen dapat berkolaborasi dengan rezim neoliberalisme pimpinan George Walker Bush. Kelompok-kelompok fundamentalis Kristen seperti Moral Majority dan Evangelistic Association merupakan pendukung setia Presiden Bush.

Di negara-negara berkembang, fundamentalisme, baik Islam maupun lainnya, cenderung bersikap kritis terhadap neoliberalisme. Gerakan keagamaan di Amerika Latin, yang biasa dikenal dengan sebutan “Teologi Pembebasan”, adalah kelompok yang paling rajin mengecam neoliberalisme. Karena itu, orang sering mengatakan bahwa kritik-kritik dan kecaman terhadap liberalisme baru atau neoliberalisme sesungguhnya datang dari sisa-sisa marxisme, baik yang hidup dalam gerakan-gerakan sosial kiri maupun gerakan-gerakan keagamaan.

Bagi kelompok-kelompok fundamentalisme agama, anti-neoliberalisme bisa juga dijadikan dasar dan semangat baru untuk menghidupkan gagasan seperti “ekonomi syariah” misalnya. Sementara bagi kelompok-kelompok kiri, ini adalah momentum untuk menghidupkan sisa-sisa Marxisme yang semakin dilupakan orang.

Inilah yang harus kita pahami secara cermat agar kita tidak tersesat pada dinamika sosial politik yang setiap saat dapat menjerumuskan kita pada paradigma yang salah dalam membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.

baca selanjutnya ..

Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai Ketentuan Hukum

Kedewasaan seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangat beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan usia. Seseorang dianggap dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap (berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya (kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan). Kategori orang demikian adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang berada dalam pengampuan.

Terdapat paradigma hukum yang berbeda dalam memberikan batasan kedewasaan berdasarkan usia. Perbedaan usia dewasa menurut satu aturan hukum dengan aturan hukum yang lain mengandung pertimbangan filosofis dan pertimbangan personalitas lainnya. Meskipun terjadi perbedaan besaran usia, namun tetap terdapat besaran usia yang sama dibeberapa aturan hukum yang berlaku. Perbedaan ukuran dewasa ini menjadi menarik ketika kita dihadapkan pada penyelenggaraan hak dan kewajiban kita sebagai warganegara maupun umat beragama.

Ketentuan hukum dalam kajian kali ini tidak hanya dibatasi oleh ketentuan hukum yang dibuat oleh negara, lebih dari itu mencakup ketentuan Hukum Agama (Islam) dan Hukum Adat. Dalam Hukum Islam kita mengenalnya dengan istilah "baligh". Umat Islam yang belum baligh dihadapkan pada persoalan yang hampir sama dengan warga negara yang belum dianggap dewasa. Ini terkait erat dengan hak serta kewajiban yang harus ia tunaikan. Selain itu ketentuan Hukum Islam telah dibukukan dengan legal formalnya sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memberikan pandangan tersendiri mengenai besaran usia. 

Dalam konteks yang lain sebagai orang tua, hendaknya kita mengetahui apa yang telah menjadi hak dan kewajiban anak kita seiring perkembangan usianya. Keterlambatan dan ketidakpedulian tentu akan memicu implikasi kurang baik bagi mereka. Misalnya anak sudah waktunya melaksanakan kewajiban sholat, wajib mengurus KTP, berhak ikut Pemilu, berhak mengurus SIM dsb. Berikut ini berbagai referensi tentang besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia :

Hukum Perdata (BW) : 21 tahun, Pasal 330 : "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin."

Hukum Pidana (KUHP) : 16 tahun, Pasal 45 : "Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapat menentukan : ..."

Hukum Islam (KHI) : 21 tahun, Pasal 98 Ayat (1) : "Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan". Selain itu dalam Hukum Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah (sumber : wikipedia).

Hukum Adat : Hukum adat tidak mengenal batasan umur belum dewasa dan dewasa. Hukum Adat hanya mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.

Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) : Pria 19 tahun dan Wanita 16 tahun, Pasal 7 : "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun 2009) : 17 tahun, Pasal 81 : "(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II."

Undang-Undang Kependudukan (UU No. 23 Tahun 2006) : 17 tahun, Pasal 63 :"(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP."

Undang-Undang Pemilihan Umum (UU No. 10 Tahun 2008 juncto UU No. 42 Tahun 2008) : 17 tahun, Pasal 19 : "(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih.."
Pasal 1 angka 21 : Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

baca selanjutnya ..

Berbagai Hak Atas Tanah dan Masa Berlakunya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


Hak Atas Tanah berdasarkan definisinya adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Hak atas tanah bercirikan bahwa seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.

Hak-hak atas tanah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 juncto Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, antara lain:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.


Prinsipnya terdapat dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan, karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Pencantuman kedua hak ini pada UUPA didasarkan pada penyelarasan sistematika hukum nasional dengan hukum adat. Dimana kedua hak tersebut merupakan representasi dari hak ulayat (hak atas tanah adat).

Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak yang dimaksud antara lain :
1. Hak gadai
2. Hak usaha bagi hasil
3. Hak menumpang
4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan hapus/ dihapuskan. Mengingat hak tersebut melekat dari adanya perjanjian pokok yang membentuk. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa Tanah Bangunan
6) Hak Pengelolaan

2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1) Hak Gadai
2) Hak Usaha Bagi Hasil
3) Hak Menumpang
4) Hak Sewa Tanah Pertanian

Berikut ini pengertian dari Hak-hak atas tanah tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada Pasal 4 ayat (1) ialah:

Hak Milik (HM)
ialah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosialnya. (Pasal 20).
Hak milik hapus apabila :
a. Tanahnya jatuh pada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 (Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang);
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
Ctt:
Pasal 21 ayat (3), berbunyi :
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang-nya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Pasal 26 ayat (2), berbunyi :
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing. Kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum. Kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

b. Tanahnya musnah.


Hak Guna Usaha (HGU)
ialah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (Pasal 28 ayat (1)). Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.
Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun. (Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3)).
Hak Guna Usaha hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ctt:
Pasal 30 ayat (2), berbunyi :
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihal lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Hak Guna Bangunan (HGB)
ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2)).
Hak Guna Bangunan hapus karena:
a. jangka waktu berakhirnya;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam Pasal36 ayat (2).
Ctt:
Pasal 36 ayat (2), berbunyi :
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 Pasalini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Hak Pakai
ialah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini. (Pasal 41 ayat (1)).
Hak pakai dapat diberikan:
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.


Hak Sewa
ialah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (Pasal 44 ayat (1)).


Hak Membuka Tanah & Hak Memungut Hasil Hutan
ialah hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hutan, hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan diatu oleh Peraturan Pemerintah. (Pasal 46 ayat (1)).


Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

  • Diantaranya ialah hak guna-air, pemeliharaan, dan penangkapan ikan, ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. ( Pasal 47 ayat (1)).

  • Hak guna-ruang-angkasa, ialah hak untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, ari serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. (Pasal 48 ayat (1)).

  • Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial, ialah hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (Pasal 49 ayat (1)).
Dengan dasar untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat, semua hak atas tanah pada dasarnya dapat dicabut penguasaannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Diatasnya. Pencabutan Hak Atas Tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut.

baca selanjutnya ..

Tranformasi Urusan Privat Menjadi Konsumsi Publik

Sejak dahulu kala, jaman nenek moyang kita hingga (mungkin) bapak/ibu kita sendiri, urusan rumah tangga dari pertengkaran, jatuhnya talak, pisah ranjang/rumah hingga perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan merupakan hal yang begitu tersimpan aman dalam “ruang” yang bernama rahasia rumah tangga. Keyakinan yang didasari oleh rasa malu, pamali, hingga tidak ingin di dengar oleh saudara dan khalayak umum merupakan dasar pertimbangan bahwa hal tersebut harus tersimpan rapat-rapat.

Perkembangan pengetahuan dan teknologi informatika berimplikasi kepada transformasi (perubahan) mendasar atas berbagai urusan yang bersifat pribadi/ privat menjadi konsumsi publik, sepertihalnya perceraian. Perceraian dilihat dari perspektif saat ini telah mengalami perubahan yang mencolok. Sebelumnya (bila dapat digambarkan) perceraian merupakan peristiwa yang membawa perasaan pilu nan sedih khususnya bagi pihak-pihak yang tersangkut dalam perceraian. Melakukan perceraian seringkali dihantui oleh perasaan yang berat untuk menyandang status duda atau lebih-lebih janda. Perasaan seperti ini jelas tidak mudah untuk ditutup-tutupi. Menyandang predikat duda atau janda membawa konsekuensi yang cukup berat. Namun apabila kita amati, saat ini perceraian tidak lagi merupakan peristiwa yang luar biasa ditakutkan oleh suami maupun istri dalam sebuah perkawinan. Perasaan takut dan was-was terkalahkan oleh keinginan yang lebih besar untuk mengakhiri perkawinan. Bahkan alasan perceraianpun secara nyata bukan lagi bersumber dari masalah yang kompleks dan rumit namun permasalahan sederhanapun dapat menjadi pemicu perceraian. Singkatnya, status janda bukan lagi menjadi “momok” di jaman seperti ini.


Visualisasi media televisi sering menggambarkan bahwa pasangan yang tersangkut perceraian tidak terlihat atau memperlihatkan perasaan sedih. Apakah ini merupakan gambaran sejujurnya dari perasaan hati ataukah “kepura-puraan”? Itu merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh bersangkutan sendiri (dengan penciptanya). Tapi menurut hemat penulis, ini tidak terlepas dari akibat yang maha dahsyat dari peristilahan “Duren” (duda keren) dan “Janda Kembang" (janda cantik). Status duda atau janda tidak lagi membawa konotasi yang miring semiring beberapa dekade tahun yang lalu. Status duda atau janda tidak lagi dianggap sebagai orang yang gagal dalam membina rumah tangga tapi lebih kepada orang yang belum menemukan kecocokan pasangan. Tentu saja (hemat penulis) ini membawa implikasi terhadap "daya laku" duda atau janda yang tidak seburuk sebelumnya. Bahkan oleh beberapa orang ini bukan menjadi masalah. Artinya duda atau perjaka, janda atau gadis adalah sama. Pertanyaannya kemudian adalah apakah semua duda dapat dikatakan “duren” dan semua janda dapat dikatakan “janda kembang”?

Di salah satu acara televisi kita dapat mengikuti bagaimana problematika rumah tangga yang terancam perceraian dibahas bersama dalam kemasan talk show. Terdapat berbagai alasan yang melatarbelakangi kisruhnya rumah tangga tersebut, dari perselingkuhan, masalah dengan mertua, ekonomi hingga masalah seksual yang terkadang sangat tidak etis untuk dikonsumsi anak-anak. Secara konseptual acara ini diharapkan dapat membantu memperbaiki jalinan perkawinan yang “rusak” sehingga dapat direkonstruksi kembali. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa acara tersebut diprakarsai oleh sponsor yang mengharapkan acara ini mendapatkan rating yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri ini akan merubah paradigma atas persoalan yang serius serta memiliki sensitivitas emosional menjadi bentuk hiburan yang diharapkan disaksikan oleh masyarakat dalam jumlah sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan rating pemirsa setinggi-tingginya. Lebih dari itu audiens dalam acara tersebut diberikan hak untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. So dimana letak masalah yang seharusnya menjadi masalah privat rumah tangga. Apakah semua orang akan berkehendak demikian apabila mendapatkan permasalahan yang pelik dalam rumah tangganya? Itu tergantung kepada anda.

Sejalan dengan hal itu, momentum sidang perceraian juga mengalami pergeseran. Sidang perceraian yang “mutlak” tertutup kepada sidang perceraian yang dapat diikuti oleh khalayak umum (meskipun tidak secara keseluruhan). Seringkali kita “dimanjakan” oleh media massa yang memberikan informasi kepada kita, baik secara visual, deskripsi maupun kedua-duanya tentang sepenggal jalannya persidangan perceraian artis maupun publik figur. Minimal kita akan mengetahui status perkawinan dari idola ataupun publik figur serta putusan pengadilan terhadap kasus tersebut.

Mengikuti sepenggal cerita tentang sidang perceraian artis atau publik figur sering membentuk paradigma kita untuk menyimpulkan penyebab perceraian. Kemudian kita dibawa (secara sadar ataupun tidak) untuk memihak salah satu pihak dan kontra terhadap pihak yang lain. Namun tidak bijak rasanya bila kita hanya mendasarkan keberpihakan tersebut kepada hasil sidang perceraian sebagai satu-satunya dasar menilai watak dan karakteristik seorang figur secara keseluruhan. Inilah salah satu implikasi transformasi urusan privat menjadi konsumsi publik.

Pemeriksaan oleh pengadilan agama hakekatnya tetap mengupayakan jalan islah bagi pasangan perkawinan. Sehingga diharapkan dengan difasilitasi oleh hakim pengadilan mereka dapat memperbaiki kehidupan rumah tangga dengan mencari solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi. Namun ketika ini telah menjadi konsumsi publik tentu saja akan membawa konsekuensi yang lebih besar kedepannya. Akan mempengaruhi pola pikir bagi pasangan yang bersangkutan untuk menentukan jalan hidupnya seiring dengan banyaknya pihak yang ingin memberikan pertimbangan atas masalah yang tergolong urusan privat tersebut.

Merujuk kepada kaedah hukum yang berlaku tidak ada dasar bagi persidangan yang bersifat tertutup dan terbuka kecuali persidangan tersebut terkait dengan masalah perceraian, anak-anak dan kesusilaan. Sehingga status sosial dan strata ekonomi pihak-pihak dalam sidang perceraian tidaklah mengubah sifat dari persidangan perceraian yang tertutup. Status pihak dalam perceraian baik artis, publik figur, pegawai negeri atau hanya pedagang kaki lima adalah sama haknya untuk mendapatkan pemeriksaan yang tertutup terhadap sidang perceraian yang dialami.

Demikian pula perjodohanpun mengalami pergeseran nilai yang serupa. Perjodohan yang awalnya dilakukan hanya sebatas lingkup keluarga, teman, tetangga, saat ini orang yang tidak pernah kita kenal sekalipun dapat berperan mencarikan jodoh bagi kita. Mencari jodoh saat ini diibaratkan sebagai ladang penghasilan baru bagi banyak pihak. Perjodohan dapat dikemas menjadi urusan yang dapat mendatangkan keuntungan komersial. Biro jodoh, kontak jodoh, hingga acara televisi telah mendukung pertemuan kita dengan jodoh kita. Misalnya dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi yang bertujuan untuk mencarikan jodoh bagi klien atau tamu acara. Terlepas hubungan yang akhirnya terjalin telah masuk dalam skenario sejak awal ataukah terjadi secara apa adanya, pada kesimpulannya perjodohan kini memiliki tempat yang baru yaitu “tempat” yang menarik untuk dibicarakan oleh banyak orang. Berbagai media dan sarana teknologi informatika banyak membantu kita untuk mendapatkan pasangan hidup.  Perjodohan bukan lagi menjadi masalah pribadi orang per orang yang tabu untuk diungkapkan. Tentu saja ini berbeda dengan pandangan konservatif nan religius seringkali kita menitipkan diri kepada seorang Kyai yang kita percaya dapat membantu mendapatkan jodoh yang baik bagi diri atau salah satu keluarga kita. Dalam kenyataan saat ini mungkin hal seperti ini sudah semakin jarang kita temui seiring perkembangan jaman dan teknologi.

Perselingkuhan dalam perspektif saat ini juga mengalami pergeseran sejalan dengan urusan privat sebelumnya. Isu skandal dan perselingkuhan merupakan salah satu isu yang sering “menghinggapi” publik figur. Bagaimana tokoh terkemuka dunia, sepertihalnya Bill Clinton (Presiden Amerika Serikat), Taro Aso (PM Jepang), Silvio Berlusconi (PM Italia) dan banyak tokoh dunia lainnya tergoyangkan jabatan dan kedudukannya karena wanita. Perilaku perselingkuhan kini tidak lagi menjadi milik publik figur, artis, orang kaya raya, maupun pejabat publik. Kemampuan ekonomi, status sosial, pangkat dan jabatan, tingkatan usia serta strata sosial lainnya tidak mampu menjadi pendukung maupun parameter equivalen yang pasti terhadap tingkat keseringan kasus perselingkuhan terjadi. Prinsipnya perselingkuhan dapat saja terjadi kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Permasalahan terjadi ketika perselingkuhan itu terkuak oleh pasangan atau bahkan oleh khalayak ramai. Hal tersebut sering kita lihat melalui media televisi. Perburuan akan penyebab ketidaknormalan kehidupan rumah tangga untuk dicari akar penyebabnya seringkali terjawab dengan terkuaknya jalinan perselingkuhan. Parahnya jalinan perselingkuhan ini dikupas mendalam hingga terkadang terjadi pergeseran nilai-nilai perselingkuhan yang bersifat aib dan tidak tepat untuk diketahui khalayak ramai menjadi konsumsi masyarakat penikmat acara. Bukankah ini bisa jadi menjadi inspirasi bagi peselingkuh-peselingkuh baru dan “amatiran” atau inspirasi pengembangan modus-modus perselingkuhan gaya baru.

Entah apa yang ada dibenak klien dalam acara semacam ini, yang secara langsung mencoba membuka segala apa yang ada dalam diri pasangannya atau keluarganya untuk dikonsumsi secara massal oleh masyarakat. Pergeseran nilai perselingkuhan dari sesuatu yang dianggap aib menjadi lumrah dengan sikap reaktif dari pelaku perselingkuhan yang menganggap itu menjadi hal yang wajar dengan berbagai alasan pembenar menjadi hal yang menarik bagi dunia hiburan televisi. Terlepas dari itu semua perselingkuhan tetaplah perselingkuhan yang merupakan sesuatu yang tidak kita kehendaki (secara sadar) dan selalu kita coba hindari bagi keutuhan keluarga.

Inilah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini. Sudah waktunya kita dapat membuat garis pemisah yang jelas bahwa satu hal adalah entertainment/ hiburan dan lain hal adalah masalah pribadi yang seharusnya tidak diketahui oleh orang yang tidak senyatanya ingin tahu dan tidak dalam kapasitas apapun. Perlu kedewasaan kita untuk menilai secara obyektif terhadap apapun juga, khususnya hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak pada tempatnya untuk kita konsumsi bersama. Semoga kita tetap menjadi manusia yang bijaksana di jaman tanpa batas seperti ini.

baca selanjutnya ..

Apakah prioritas utama yang perlu dibenahi dalam penegakan hukum di Indonesia?

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies