Bedah_Hukum
this site the web


Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai Ketentuan Hukum

Kedewasaan seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangat beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan usia. Seseorang dianggap dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap (berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya (kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan). Kategori orang demikian adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang berada dalam pengampuan.

Terdapat paradigma hukum yang berbeda dalam memberikan batasan kedewasaan berdasarkan usia. Perbedaan usia dewasa menurut satu aturan hukum dengan aturan hukum yang lain mengandung pertimbangan filosofis dan pertimbangan personalitas lainnya. Meskipun terjadi perbedaan besaran usia, namun tetap terdapat besaran usia yang sama dibeberapa aturan hukum yang berlaku. Perbedaan ukuran dewasa ini menjadi menarik ketika kita dihadapkan pada penyelenggaraan hak dan kewajiban kita sebagai warganegara maupun umat beragama.

Ketentuan hukum dalam kajian kali ini tidak hanya dibatasi oleh ketentuan hukum yang dibuat oleh negara, lebih dari itu mencakup ketentuan Hukum Agama (Islam) dan Hukum Adat. Dalam Hukum Islam kita mengenalnya dengan istilah "baligh". Umat Islam yang belum baligh dihadapkan pada persoalan yang hampir sama dengan warga negara yang belum dianggap dewasa. Ini terkait erat dengan hak serta kewajiban yang harus ia tunaikan. Selain itu ketentuan Hukum Islam telah dibukukan dengan legal formalnya sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memberikan pandangan tersendiri mengenai besaran usia. 

Dalam konteks yang lain sebagai orang tua, hendaknya kita mengetahui apa yang telah menjadi hak dan kewajiban anak kita seiring perkembangan usianya. Keterlambatan dan ketidakpedulian tentu akan memicu implikasi kurang baik bagi mereka. Misalnya anak sudah waktunya melaksanakan kewajiban sholat, wajib mengurus KTP, berhak ikut Pemilu, berhak mengurus SIM dsb. Berikut ini berbagai referensi tentang besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia :

Hukum Perdata (BW) : 21 tahun, Pasal 330 : "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin."

Hukum Pidana (KUHP) : 16 tahun, Pasal 45 : "Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapat menentukan : ..."

Hukum Islam (KHI) : 21 tahun, Pasal 98 Ayat (1) : "Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan". Selain itu dalam Hukum Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah (sumber : wikipedia).

Hukum Adat : Hukum adat tidak mengenal batasan umur belum dewasa dan dewasa. Hukum Adat hanya mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.

Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) : Pria 19 tahun dan Wanita 16 tahun, Pasal 7 : "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun 2009) : 17 tahun, Pasal 81 : "(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II."

Undang-Undang Kependudukan (UU No. 23 Tahun 2006) : 17 tahun, Pasal 63 :"(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP."

Undang-Undang Pemilihan Umum (UU No. 10 Tahun 2008 juncto UU No. 42 Tahun 2008) : 17 tahun, Pasal 19 : "(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih.."
Pasal 1 angka 21 : Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

baca selanjutnya ..

Berbagai Hak Atas Tanah dan Masa Berlakunya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


Hak Atas Tanah berdasarkan definisinya adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Hak atas tanah bercirikan bahwa seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.

Hak-hak atas tanah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 juncto Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, antara lain:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.


Prinsipnya terdapat dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan, karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Pencantuman kedua hak ini pada UUPA didasarkan pada penyelarasan sistematika hukum nasional dengan hukum adat. Dimana kedua hak tersebut merupakan representasi dari hak ulayat (hak atas tanah adat).

Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak yang dimaksud antara lain :
1. Hak gadai
2. Hak usaha bagi hasil
3. Hak menumpang
4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan hapus/ dihapuskan. Mengingat hak tersebut melekat dari adanya perjanjian pokok yang membentuk. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa Tanah Bangunan
6) Hak Pengelolaan

2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1) Hak Gadai
2) Hak Usaha Bagi Hasil
3) Hak Menumpang
4) Hak Sewa Tanah Pertanian

Berikut ini pengertian dari Hak-hak atas tanah tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada Pasal 4 ayat (1) ialah:

Hak Milik (HM)
ialah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosialnya. (Pasal 20).
Hak milik hapus apabila :
a. Tanahnya jatuh pada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 (Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang);
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
Ctt:
Pasal 21 ayat (3), berbunyi :
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang-nya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Pasal 26 ayat (2), berbunyi :
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing. Kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum. Kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

b. Tanahnya musnah.


Hak Guna Usaha (HGU)
ialah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (Pasal 28 ayat (1)). Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.
Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun. (Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3)).
Hak Guna Usaha hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ctt:
Pasal 30 ayat (2), berbunyi :
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihal lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Hak Guna Bangunan (HGB)
ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2)).
Hak Guna Bangunan hapus karena:
a. jangka waktu berakhirnya;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam Pasal36 ayat (2).
Ctt:
Pasal 36 ayat (2), berbunyi :
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 Pasalini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Hak Pakai
ialah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini. (Pasal 41 ayat (1)).
Hak pakai dapat diberikan:
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.


Hak Sewa
ialah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (Pasal 44 ayat (1)).


Hak Membuka Tanah & Hak Memungut Hasil Hutan
ialah hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hutan, hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan diatu oleh Peraturan Pemerintah. (Pasal 46 ayat (1)).


Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

  • Diantaranya ialah hak guna-air, pemeliharaan, dan penangkapan ikan, ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. ( Pasal 47 ayat (1)).

  • Hak guna-ruang-angkasa, ialah hak untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, ari serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. (Pasal 48 ayat (1)).

  • Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial, ialah hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (Pasal 49 ayat (1)).
Dengan dasar untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat, semua hak atas tanah pada dasarnya dapat dicabut penguasaannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Diatasnya. Pencabutan Hak Atas Tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut.

baca selanjutnya ..

Tranformasi Urusan Privat Menjadi Konsumsi Publik

Sejak dahulu kala, jaman nenek moyang kita hingga (mungkin) bapak/ibu kita sendiri, urusan rumah tangga dari pertengkaran, jatuhnya talak, pisah ranjang/rumah hingga perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan merupakan hal yang begitu tersimpan aman dalam “ruang” yang bernama rahasia rumah tangga. Keyakinan yang didasari oleh rasa malu, pamali, hingga tidak ingin di dengar oleh saudara dan khalayak umum merupakan dasar pertimbangan bahwa hal tersebut harus tersimpan rapat-rapat.

Perkembangan pengetahuan dan teknologi informatika berimplikasi kepada transformasi (perubahan) mendasar atas berbagai urusan yang bersifat pribadi/ privat menjadi konsumsi publik, sepertihalnya perceraian. Perceraian dilihat dari perspektif saat ini telah mengalami perubahan yang mencolok. Sebelumnya (bila dapat digambarkan) perceraian merupakan peristiwa yang membawa perasaan pilu nan sedih khususnya bagi pihak-pihak yang tersangkut dalam perceraian. Melakukan perceraian seringkali dihantui oleh perasaan yang berat untuk menyandang status duda atau lebih-lebih janda. Perasaan seperti ini jelas tidak mudah untuk ditutup-tutupi. Menyandang predikat duda atau janda membawa konsekuensi yang cukup berat. Namun apabila kita amati, saat ini perceraian tidak lagi merupakan peristiwa yang luar biasa ditakutkan oleh suami maupun istri dalam sebuah perkawinan. Perasaan takut dan was-was terkalahkan oleh keinginan yang lebih besar untuk mengakhiri perkawinan. Bahkan alasan perceraianpun secara nyata bukan lagi bersumber dari masalah yang kompleks dan rumit namun permasalahan sederhanapun dapat menjadi pemicu perceraian. Singkatnya, status janda bukan lagi menjadi “momok” di jaman seperti ini.


Visualisasi media televisi sering menggambarkan bahwa pasangan yang tersangkut perceraian tidak terlihat atau memperlihatkan perasaan sedih. Apakah ini merupakan gambaran sejujurnya dari perasaan hati ataukah “kepura-puraan”? Itu merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh bersangkutan sendiri (dengan penciptanya). Tapi menurut hemat penulis, ini tidak terlepas dari akibat yang maha dahsyat dari peristilahan “Duren” (duda keren) dan “Janda Kembang" (janda cantik). Status duda atau janda tidak lagi membawa konotasi yang miring semiring beberapa dekade tahun yang lalu. Status duda atau janda tidak lagi dianggap sebagai orang yang gagal dalam membina rumah tangga tapi lebih kepada orang yang belum menemukan kecocokan pasangan. Tentu saja (hemat penulis) ini membawa implikasi terhadap "daya laku" duda atau janda yang tidak seburuk sebelumnya. Bahkan oleh beberapa orang ini bukan menjadi masalah. Artinya duda atau perjaka, janda atau gadis adalah sama. Pertanyaannya kemudian adalah apakah semua duda dapat dikatakan “duren” dan semua janda dapat dikatakan “janda kembang”?

Di salah satu acara televisi kita dapat mengikuti bagaimana problematika rumah tangga yang terancam perceraian dibahas bersama dalam kemasan talk show. Terdapat berbagai alasan yang melatarbelakangi kisruhnya rumah tangga tersebut, dari perselingkuhan, masalah dengan mertua, ekonomi hingga masalah seksual yang terkadang sangat tidak etis untuk dikonsumsi anak-anak. Secara konseptual acara ini diharapkan dapat membantu memperbaiki jalinan perkawinan yang “rusak” sehingga dapat direkonstruksi kembali. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa acara tersebut diprakarsai oleh sponsor yang mengharapkan acara ini mendapatkan rating yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri ini akan merubah paradigma atas persoalan yang serius serta memiliki sensitivitas emosional menjadi bentuk hiburan yang diharapkan disaksikan oleh masyarakat dalam jumlah sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan rating pemirsa setinggi-tingginya. Lebih dari itu audiens dalam acara tersebut diberikan hak untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. So dimana letak masalah yang seharusnya menjadi masalah privat rumah tangga. Apakah semua orang akan berkehendak demikian apabila mendapatkan permasalahan yang pelik dalam rumah tangganya? Itu tergantung kepada anda.

Sejalan dengan hal itu, momentum sidang perceraian juga mengalami pergeseran. Sidang perceraian yang “mutlak” tertutup kepada sidang perceraian yang dapat diikuti oleh khalayak umum (meskipun tidak secara keseluruhan). Seringkali kita “dimanjakan” oleh media massa yang memberikan informasi kepada kita, baik secara visual, deskripsi maupun kedua-duanya tentang sepenggal jalannya persidangan perceraian artis maupun publik figur. Minimal kita akan mengetahui status perkawinan dari idola ataupun publik figur serta putusan pengadilan terhadap kasus tersebut.

Mengikuti sepenggal cerita tentang sidang perceraian artis atau publik figur sering membentuk paradigma kita untuk menyimpulkan penyebab perceraian. Kemudian kita dibawa (secara sadar ataupun tidak) untuk memihak salah satu pihak dan kontra terhadap pihak yang lain. Namun tidak bijak rasanya bila kita hanya mendasarkan keberpihakan tersebut kepada hasil sidang perceraian sebagai satu-satunya dasar menilai watak dan karakteristik seorang figur secara keseluruhan. Inilah salah satu implikasi transformasi urusan privat menjadi konsumsi publik.

Pemeriksaan oleh pengadilan agama hakekatnya tetap mengupayakan jalan islah bagi pasangan perkawinan. Sehingga diharapkan dengan difasilitasi oleh hakim pengadilan mereka dapat memperbaiki kehidupan rumah tangga dengan mencari solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi. Namun ketika ini telah menjadi konsumsi publik tentu saja akan membawa konsekuensi yang lebih besar kedepannya. Akan mempengaruhi pola pikir bagi pasangan yang bersangkutan untuk menentukan jalan hidupnya seiring dengan banyaknya pihak yang ingin memberikan pertimbangan atas masalah yang tergolong urusan privat tersebut.

Merujuk kepada kaedah hukum yang berlaku tidak ada dasar bagi persidangan yang bersifat tertutup dan terbuka kecuali persidangan tersebut terkait dengan masalah perceraian, anak-anak dan kesusilaan. Sehingga status sosial dan strata ekonomi pihak-pihak dalam sidang perceraian tidaklah mengubah sifat dari persidangan perceraian yang tertutup. Status pihak dalam perceraian baik artis, publik figur, pegawai negeri atau hanya pedagang kaki lima adalah sama haknya untuk mendapatkan pemeriksaan yang tertutup terhadap sidang perceraian yang dialami.

Demikian pula perjodohanpun mengalami pergeseran nilai yang serupa. Perjodohan yang awalnya dilakukan hanya sebatas lingkup keluarga, teman, tetangga, saat ini orang yang tidak pernah kita kenal sekalipun dapat berperan mencarikan jodoh bagi kita. Mencari jodoh saat ini diibaratkan sebagai ladang penghasilan baru bagi banyak pihak. Perjodohan dapat dikemas menjadi urusan yang dapat mendatangkan keuntungan komersial. Biro jodoh, kontak jodoh, hingga acara televisi telah mendukung pertemuan kita dengan jodoh kita. Misalnya dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi yang bertujuan untuk mencarikan jodoh bagi klien atau tamu acara. Terlepas hubungan yang akhirnya terjalin telah masuk dalam skenario sejak awal ataukah terjadi secara apa adanya, pada kesimpulannya perjodohan kini memiliki tempat yang baru yaitu “tempat” yang menarik untuk dibicarakan oleh banyak orang. Berbagai media dan sarana teknologi informatika banyak membantu kita untuk mendapatkan pasangan hidup.  Perjodohan bukan lagi menjadi masalah pribadi orang per orang yang tabu untuk diungkapkan. Tentu saja ini berbeda dengan pandangan konservatif nan religius seringkali kita menitipkan diri kepada seorang Kyai yang kita percaya dapat membantu mendapatkan jodoh yang baik bagi diri atau salah satu keluarga kita. Dalam kenyataan saat ini mungkin hal seperti ini sudah semakin jarang kita temui seiring perkembangan jaman dan teknologi.

Perselingkuhan dalam perspektif saat ini juga mengalami pergeseran sejalan dengan urusan privat sebelumnya. Isu skandal dan perselingkuhan merupakan salah satu isu yang sering “menghinggapi” publik figur. Bagaimana tokoh terkemuka dunia, sepertihalnya Bill Clinton (Presiden Amerika Serikat), Taro Aso (PM Jepang), Silvio Berlusconi (PM Italia) dan banyak tokoh dunia lainnya tergoyangkan jabatan dan kedudukannya karena wanita. Perilaku perselingkuhan kini tidak lagi menjadi milik publik figur, artis, orang kaya raya, maupun pejabat publik. Kemampuan ekonomi, status sosial, pangkat dan jabatan, tingkatan usia serta strata sosial lainnya tidak mampu menjadi pendukung maupun parameter equivalen yang pasti terhadap tingkat keseringan kasus perselingkuhan terjadi. Prinsipnya perselingkuhan dapat saja terjadi kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Permasalahan terjadi ketika perselingkuhan itu terkuak oleh pasangan atau bahkan oleh khalayak ramai. Hal tersebut sering kita lihat melalui media televisi. Perburuan akan penyebab ketidaknormalan kehidupan rumah tangga untuk dicari akar penyebabnya seringkali terjawab dengan terkuaknya jalinan perselingkuhan. Parahnya jalinan perselingkuhan ini dikupas mendalam hingga terkadang terjadi pergeseran nilai-nilai perselingkuhan yang bersifat aib dan tidak tepat untuk diketahui khalayak ramai menjadi konsumsi masyarakat penikmat acara. Bukankah ini bisa jadi menjadi inspirasi bagi peselingkuh-peselingkuh baru dan “amatiran” atau inspirasi pengembangan modus-modus perselingkuhan gaya baru.

Entah apa yang ada dibenak klien dalam acara semacam ini, yang secara langsung mencoba membuka segala apa yang ada dalam diri pasangannya atau keluarganya untuk dikonsumsi secara massal oleh masyarakat. Pergeseran nilai perselingkuhan dari sesuatu yang dianggap aib menjadi lumrah dengan sikap reaktif dari pelaku perselingkuhan yang menganggap itu menjadi hal yang wajar dengan berbagai alasan pembenar menjadi hal yang menarik bagi dunia hiburan televisi. Terlepas dari itu semua perselingkuhan tetaplah perselingkuhan yang merupakan sesuatu yang tidak kita kehendaki (secara sadar) dan selalu kita coba hindari bagi keutuhan keluarga.

Inilah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini. Sudah waktunya kita dapat membuat garis pemisah yang jelas bahwa satu hal adalah entertainment/ hiburan dan lain hal adalah masalah pribadi yang seharusnya tidak diketahui oleh orang yang tidak senyatanya ingin tahu dan tidak dalam kapasitas apapun. Perlu kedewasaan kita untuk menilai secara obyektif terhadap apapun juga, khususnya hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak pada tempatnya untuk kita konsumsi bersama. Semoga kita tetap menjadi manusia yang bijaksana di jaman tanpa batas seperti ini.

baca selanjutnya ..

Apakah prioritas utama yang perlu dibenahi dalam penegakan hukum di Indonesia?

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies