Bedah_Hukum
this site the web


Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

Harta Gono-gini Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Sebelum membahas mengenai harta gono-gini berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya KHI) ada baik kita mengenal lebih dekat tentang KHI. KHI adalah kumpulan hukum materiil yang dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen yustisia atau buku sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya (penjelasan KHI). KHI berlaku dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Dimana Instruksi Presiden ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989.

Berdasarkan KHI, harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 pada Buku I (satu). Menurut pengertiannya harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun (Pasal 1 huruf f Bab Ketentuan Umum).

Persoalan harta perkawinan seringkali rumit dan berlarut-larut. Inilah salah satu pertimbangan KHI memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan sehingga nantinya menimbulkan pemisahan hak kepemilikan yang jelas atas harta-harta yang diperoleh maupun yang dibawa sebelum melakukan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mengingat pentingnya eksistensi dan pengaturan perjanjian perkawinan, KHI mengaturnya dalam Bab tersendiri dan menguraikannya dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan), KHI juga memberikan batasan bahwa tidak ada proses percampuran harta dalam sebuah perkawinan. Ini berarti bahwa harta kekayaan yang dibawa sebelum perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak yang membawanya. Perkawinan tidak merubah status kepemilikan hak atas harta kekayaan tersebut menjadi hak milik bersama. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Adapun harta tersebut dapat berupa hadiah, hibah, sodaqah atau lainnya yang merupakan pemberian khusus untuk salah satu pihak dalam ikatan perkawinan.

Harta bersama perkawinan menurut KHI (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (3)) dapat berupa :
1. Benda berwujud termasuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak serta surat-surat berharga;
2. Benda tidak berwujud termasuk hak dan kewajiban.

Pertanggungjawaban atas harta bersama dalam perkawinan adalah ada pada kedua belah pihak. Baik suami dan isteri memiliki tanggung jawab memelihara dan menjaganya. Demikian pula apabila harta bersama tersebut dalam penguasaan salah satu pihak, maka pertanggungjawaban atas harta bersama tersebut melekat pada pihak yang bersangkutan. Tidak dapat seorang suami maupun isteri mengalihkan penguasaan maupun hak kepemilikannya ke pihak lain, terkecuali dengan persetujuan bersama (isteri/suami).

Dalam hal terjadinya hutang, KHI menjelaskan pada dasarnya pertanggungjawaban ada pada masing-masing pihak yang melakukan hutang. Namun apabila hutang tersebut digunakan untuk kepentingan dan keperluan keluarga maka pertanggungjawaban dibebankan pada harta bersama. Sedangkan apabila harta bersama tidak mencukupi untuk melunasi hutang tersebut, maka suami ikut menanggungnya dengan menggunakan harta pribadinya. Harta isteripun akan disertakan dalam pertanggungjawaban hutang tersebut apabila ternyata harta suami tidak ada atau juga tidak mencukupi sebagai pelunasan.

Untuk perkawinan suami yang dilakukan lebih dari satu kali atau suami beristri lebih dari satu, masing-masing harta bersama dari setiap perkawinan tersebut adalah terpisah dan berdiri sendiri. Ini berarti harta bersama baik sebagian maupun secara keseluruhannya pada perkawinan pertama, tidak dapat sekaligus menjadi harta bersama di perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan keberlakuan harta bersama disetiap perkawinan ialah dihitung sejak saat berlangsungnya akad perkawinan, baik itu pada perkawinan kedua, perkawinan ketiga dan seterusnya.

Mengenai besaran harta gono-gini dari harta bersama perkawinan yang bercerai karena kematian, Pasal 96 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Pada dasarnya hal ini sama dengan besaran untuk janda atau duda cerai biasa yang diatur dalam Pasal 97 yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Demikian tulisan terkait harta bersama atau syirkah berdasarkan KHI, yang pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan UU Perkawinan. Semoga bermanfaat.

baca selanjutnya ..

Harta Gono-Gini Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ini diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan). Namun dalam kenyataannya, terkadang keluarga atau rumah tangga yang dibentuk oleh ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan dengan berbagai sebab dan alasan.

Sebab dan alasan keretakan keluarga/rumah tangga sangat beragam dan muncul terkadang tidak diperkirakan sejak awal. Pada awalnya masing-masing pihak beranggapan bahwa calon pasangan mereka adalah orang yang tepat mendampingi perjalanan hidupnya. Namun perkembangan tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Problematika yang biasa terjadi dalam biduk rumah tangga menjadi hal yang luar biasa ketika tidak ditemukan penyelesaiannya. Hingga klimaknya berujung pada perceraian atau perpisahan.

Perceraian sebagaimana dalam UU Perkawinan dimasukkan sebagai salah satu alasan putusnya perkawinan selain karena kematian dan keputusan pengadilan. Secara materiil perceraian didasari oleh kaedah agama/ kepercayaan dari pasangan bersangkutan dan secara formil putusan pengadilan memberikan keabsahan atas perceraian yang terjadi menurut hukum negara yang berlaku.

Salah satu implikasi dari perceraian adalah pembagian harta bersama menjadi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak atau biasa disebut “harta gono-gini” pasca perceraian. Pembagian harta gono-gini seringkali menjadi persoalan pelik yang tidak tuntas oleh para pihak melalui kesepakatan semata. Bahkan berdasarkan kenyataan yang sering terjadi, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit disamping masalah hak asuh atas anak.

Istilah “harta gono-gini” pada dasarnya tidak dikenal dalam UU Perkawinan kita. Dalam UU Perkawinan setidaknya dikenal 3 (tiga) jenis harta yaitu harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan. Adapun pengertian masing-masing harta tersebut adalah sebagai berikut:
* Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta ini merupakan harta yang dikuasai bersama selama perkawinan.
* Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak sebelum proses perkawinan dilakukan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
* Harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sedikit berbeda dengan penjenisan menurut UU Perkawinan, menurut Hukum Islam harta yang terkait dengan perkawinan terdapat 3 (tiga) jenis yaitu :
* Harta Milik Suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
* Harta Milik Isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atauharta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.
* Harta Milik Bersama Suami Isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda (misalnya mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua (patungan), dan sebagainya.
(sumber: Muhammad Shiddiq Al-Jawi (http://www.khilafah1924.org))

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia harta gono-gini selain diatur dalam UU Perkawinan juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono-gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Dalam perspektif hukum Islam, harta gono-gini bisa ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad yang biasanya disebut dengan konsep syirkah (kerja sama).

Berdasarkan kajian dari berbagai sumber hukum diatas, harta gono-gini dimaksudkan sebagai harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga legalitasnya diakui oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak termasuk dalam kategori harta gono-gini adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan sebelum masa perkawinan, biasa disebut dengan harta bawaan (seperti halnya harta warisan) atau harta milik pribadi yang diperoleh setelah masa perkawinan (harta perolehan, harta hibah, hadiah, dan sedekah).

UU Perkawinan telah jelas memisahkan penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 36 disebutkan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Namun dalam hal yang sama UU Perkawinan kembali menyerahkan pengaturan atas harta benda setelah putusnya perkawinan menurut hukumnya masing-masing. Artinya menurut hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perkawinan. Apakah Hukum Perdata, Hukum Islam atau Hukum Agama lain yang diakui oleh Undang-Undang. Sehingga mekanisme dan penentuan besaran harta gono-gini tersebut dilakukan berdasarkan kaedah hukum apa yang dianut oleh pihak-pihak dalam perkawinan tersebut.

Perlu dicatat bahwa harta bersama atau kita istilahkan dengan harta gono-gini menurut UU Perkawinan dibatasi terhadap perkawinan yang dilakukan lebih dari satu kali. Ini berarti harta bersama dalam perkawinan pertama tidak dapat disebut sebagai harta bersama pada perkawinan kedua dan seterusnya. Implikasinya adalah istri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Dengan kata lain, harta yang menjadi hak suami sebelum perkawinan kedua dan seterusnya tetap dianggap sebagai harta bawaan, bukan harta bersama (lihat Pasal 65 ayat (1) huruf b).

Mengingat begitu menariknya pembahasan tentang harta gono-gini untuk menambah khasanah keilmuan kita terlebih relevansinya dengan banyak realitas yang ada, maka dalam kesempatan berikutnya akan dituliskan kajian tentang pengaturan dan besaran pembagian harta gono-gini berdasarkan ketentuan Hukum Islam.

baca selanjutnya ..

Apakah prioritas utama yang perlu dibenahi dalam penegakan hukum di Indonesia?

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies