Perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ini diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan). Namun dalam kenyataannya, terkadang keluarga atau rumah tangga yang dibentuk oleh ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan dengan berbagai sebab dan alasan.
Sebab dan alasan keretakan keluarga/rumah tangga sangat beragam dan muncul terkadang tidak diperkirakan sejak awal. Pada awalnya masing-masing pihak beranggapan bahwa calon pasangan mereka adalah orang yang tepat mendampingi perjalanan hidupnya. Namun perkembangan tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Problematika yang biasa terjadi dalam biduk rumah tangga menjadi hal yang luar biasa ketika tidak ditemukan penyelesaiannya. Hingga klimaknya berujung pada perceraian atau perpisahan.
Perceraian sebagaimana dalam UU Perkawinan dimasukkan sebagai salah satu alasan putusnya perkawinan selain karena kematian dan keputusan pengadilan. Secara materiil perceraian didasari oleh kaedah agama/ kepercayaan dari pasangan bersangkutan dan secara formil putusan pengadilan memberikan keabsahan atas perceraian yang terjadi menurut hukum negara yang berlaku.
Salah satu implikasi dari perceraian adalah pembagian harta bersama menjadi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak atau biasa disebut “harta gono-gini” pasca perceraian. Pembagian harta gono-gini seringkali menjadi persoalan pelik yang tidak tuntas oleh para pihak melalui kesepakatan semata. Bahkan berdasarkan kenyataan yang sering terjadi, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit disamping masalah hak asuh atas anak.
Istilah “harta gono-gini” pada dasarnya tidak dikenal dalam UU Perkawinan kita. Dalam UU Perkawinan setidaknya dikenal 3 (tiga) jenis harta yaitu harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan. Adapun pengertian masing-masing harta tersebut adalah sebagai berikut:
* Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta ini merupakan harta yang dikuasai bersama selama perkawinan.
* Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak sebelum proses perkawinan dilakukan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
* Harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedikit berbeda dengan penjenisan menurut UU Perkawinan, menurut Hukum Islam harta yang terkait dengan perkawinan terdapat 3 (tiga) jenis yaitu :
* Harta Milik Suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
* Harta Milik Isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atauharta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.
* Harta Milik Bersama Suami Isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda (misalnya mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua (patungan), dan sebagainya.
(sumber: Muhammad Shiddiq Al-Jawi (http://www.khilafah1924.org))
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia harta gono-gini selain diatur dalam UU Perkawinan juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono-gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Dalam perspektif hukum Islam, harta gono-gini bisa ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad yang biasanya disebut dengan konsep syirkah (kerja sama).
Berdasarkan kajian dari berbagai sumber hukum diatas, harta gono-gini dimaksudkan sebagai harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga legalitasnya diakui oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak termasuk dalam kategori harta gono-gini adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan sebelum masa perkawinan, biasa disebut dengan harta bawaan (seperti halnya harta warisan) atau harta milik pribadi yang diperoleh setelah masa perkawinan (harta perolehan, harta hibah, hadiah, dan sedekah).
UU Perkawinan telah jelas memisahkan penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 36 disebutkan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Namun dalam hal yang sama UU Perkawinan kembali menyerahkan pengaturan atas harta benda setelah putusnya perkawinan menurut hukumnya masing-masing. Artinya menurut hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perkawinan. Apakah Hukum Perdata, Hukum Islam atau Hukum Agama lain yang diakui oleh Undang-Undang. Sehingga mekanisme dan penentuan besaran harta gono-gini tersebut dilakukan berdasarkan kaedah hukum apa yang dianut oleh pihak-pihak dalam perkawinan tersebut.
Perlu dicatat bahwa harta bersama atau kita istilahkan dengan harta gono-gini menurut UU Perkawinan dibatasi terhadap perkawinan yang dilakukan lebih dari satu kali. Ini berarti harta bersama dalam perkawinan pertama tidak dapat disebut sebagai harta bersama pada perkawinan kedua dan seterusnya. Implikasinya adalah istri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Dengan kata lain, harta yang menjadi hak suami sebelum perkawinan kedua dan seterusnya tetap dianggap sebagai harta bawaan, bukan harta bersama (lihat Pasal 65 ayat (1) huruf b).
Mengingat begitu menariknya pembahasan tentang harta gono-gini untuk menambah khasanah keilmuan kita terlebih relevansinya dengan banyak realitas yang ada, maka dalam kesempatan berikutnya akan dituliskan kajian tentang pengaturan dan besaran pembagian harta gono-gini berdasarkan ketentuan Hukum Islam.
baca selanjutnya ..